اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
(Sesuatu Yang Sudah Yakin Tidak Dapat Dihilangkan Dengan Adanya Sesuatu Yang Ragu)
Yakin adalah
Syakk adalah
Landasan Qaidah Ini
Contoh-contoh:
Jika seseorang telah berwudu kemudian datang keraguan dalam hatinya, barangkali telah berhadas, maka dia ada dalam keadaan suci.
Jika seseorang telah berhadas kemudian datang keraguan dalam hatinya, barangkali telah berwudu, maka dia ada dalam keadaan hadas.
Qaidah ini identik dengan dalil الإستصحاب yang digunakan ulama ushul fiqih, yakni memperlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan atau telah ada pada masa yang lampau, sampai ada ketentuan hukum lain yang merubahnya.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Contoh-contoh:
-Bila seorang hakim menghadapi perkara yang terjadi karena suatu perselisihan antara seorang debitur dengan seorang kreditur, dimana debitur mengatakan bahwa ia telah melunasi hutangnya kepada kreditur, namun kreditur menolak perkataan sidebitur tersebut, yang dikuatkan dengan sumpah. Berdasarkan qaidah ini, hakim harus menetapkan bahwa hutang tersebut masih ada (belum dilunasi), karena yang demikian inilah yang telah diyakini akan adanya. Keputusan ini dapat berobah manakala bukti-bukti lain yang meyakinkan yang mengatakan bahwa hutang tersebut telah lunas.
-Seorang suami yang lama meninggalkan istrinya dan tidak diketahui kemana rah bepergiannya itu, maka isteri tidak dapat kawin dengan orang lain. Karena dipandang bahwa hukum yang berlaku adalah wanita yang masih terikat dalam tali perkawinan, sebab pada waktu suami pergi tidak menjatuhkan thalaq terhadap istrinya itu.
-Barang siapa yang makan pada akhir malam dan ragu tentang terbitnya pajar (waktu subuh) maka saumnya sah karena hukum yang terkuat adalah tetapnya waktu malam
-Barang siapa yang makan pada akhir siang dan ragu tentang terbenamnya matahari (waktu magrib) maka saumnya batal, karena hukum yang terkuat adalah tetapnya waktu sianga.
Qaidah ini merupakan kelanjutan dari qaidah-kaidah di atas, bahwa ketentuan hukum yang telah ditetapkan atas dasar yaqin tidak dapat berubah kecuali jika ada bukti-bukti / dalil yang jelas sehingga keluar dari hukum tersebut.
Contoh-contoh:
-Seseorang yang telah berwudu tidak dapat dikatakan berhadas sehingga ada bukti bahwa dia hadas.
-Seseorang yang makan di waktu malam tidak dapat dikatakan batal sehingga ada bukti bahwa di waktu itu telah terbit fajar.
Pada hakekatnya usia manusia dilahirkan adalah bebas dari segala hutang, kewajiban ataupun pertanggungan jawab yang lain.
Adanya suatu kewajiban pertanggungan jawab itu adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki, yang datangnya tiada lain, karena adanya sebab-sebab yang timbul setelah manusia itu lahir.
Contoh-Contoh:
-Dihadapkan sumpah pada tergugat lalu dia menolak (mengundurkan diri), maka tidak boleh diadili karena pada asalnya dia bebas dari tanggung jawab, bahkan sumpah tersebut mestinya dihadapkan pada penggugat.
-Jika ada dua orang yang berselisih tentang mengganti barang yang rusak karena dipinjamkan. Maka ucapan yang diambil adalah ucapan yang meminjam karena pada asalnya bebas dari tanggung jawab.
Contoh-Contoh:
-Seseorang memakan makanan orang lain. Lalu dia berkata pada sipemilik, “Kamu telah memberikannya padaku” lalu sipemilik itu mengingkari, maka ucapan yang benar adalah ucapan sipemilik, karena pada asalnya adalah tidak boleh.
-Karena lupa Seseorang melaksanakan sujud tiga kali di dalam satu raka’at salat, maka tidak ada sujud sahwi baginya, karena tidak disyari’atkan untuk itu.
Qaidah ini adalah salah satu qa’idah yang dikenal dikalangan madzhab syafi’iyyah. Mereka merumuskan ini berdasarkan firman Allah:
Qaidah ini berlaku untuk hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan dalam masalah ibadah muncul qaidah:
Qaidah di atas diambil dari Firman Allah: surat As-Syura ayat 21)
Apabila terdapat suatu keraguan yang timbul akibat adanya perbedaan waktu terjadinya suatu peristiwa, maka ditetapkan hukumnya menurut waktu yang lebih dekat dari peristiwa itu terjadi, sehingga ada dalil lain yang dapat dijadikan landasan untuk menetapkan hukumnya menurut waktu yang lebih jauh. Karena waktu yang lebih dekat ini adalah waktu yang telah diyakinkan bahwa peristiwa itu telah terjadi.
Contoh-contoh
Jika dalam suatu akad jual beli, terdapat keraguan tentang kapankah cacad pada barang itu terjadi yang timbul karena perbedaan pendapat antara penjual dan pembeli, dimana si penjual mengatakan, bahwa cacad terjadi setelah barang diserahkanterimakan, sedangkan sepembeli mengatakan bahwa cacad itu terjadi ketika barang masih di tangan penjual. Dalam hal ini yang harus dipegangi adalah perkataan penjuial karena inilah waktu yang lebih dekat, telah sama-sama diyakini terjadinya suatu cacad. Oleh karenanya jual beli ini tidak dapat dipasakhkan, sehingga ada dalil lain yang dapat dijadikan landasan untuk menetapkan bahwa cacad terjadi ketika barang masih di tangan penjual.
Seseorang melihat sperma pada bajunya dan dia tidak ingat kapan ihtilam, maka wajib baginya mandi dan mengulangi salat yang ia kerjakan setelah tidurnya yang terakhir, karena itulah waktu yang terdekat.
Pada hari jum’at seseorang ragu, apakah sudah mandi atau belum, maka dia belum mandi.
Seseorang ragu, apakah sudah solat atau belum, maka dia belum salat.
Jika seseorang yakin telah membayar hutang, tetapi ragu apakah baru Rp 2.000,- atau sudah Rp. 3.000,- maka dia baru membayar Rp. 2.000,-
Jika seseorang yakin telah mengqada saum, tetapi ragu apakah baru tiga kali atau sudah empat kali, maka dia baru melaksanakan qada tiga kali.
Maksudnya ialah, bahwa dalam suatu kalimat harus diartikan kepada arti sebenarnya, yakni arti sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian hakiki. Kebalikan dari arti hakekat adalah arti majaz, yakni suatu arti yang berbeda dengan pengertian yang biasa, tetapi antara arti hakekat dengan arti majaz itu masih ada hubungannya, yang mengharuskan untuk mengartikan kepada arti majaz tersebut, bila ada qarinah (tanda) yang menunjukan kepada arti yang bukan arti hakekat.
Contoh:
Seseorang mengatakan:”Aku akan mewaqafkan atau akan mewasiatkan sebagian hartaku kepada anak si pulan. Maka dalam hal ini perkataan “anak” harus diartikan anak dalam arti sebenarnya, bukan berarti cucu dan sebagainya.
Hukum hubungan sex pada dasarnya adalah haram, sehingga ada sebab-sebab yang jelas dan yakin tanpa keragu-raguan yang menghalalkannya, yakni dengan adanya aqad perkawinan (nikah) atau dengan milkil yamin. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran surat Al-Mukminun ayat 5 , 6 dan 7