Kata-kata Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah adalah merupakan rangkaian dari dua lafadz, yaitu lafadz Al-Qawa’id dan Al-Fiqhiyyah. Hubungan dari kedua lafadz ini, dalam nahwu disebut hubungan shiffah dengan maushuf, atau na’at dan man’ut.
Lafadz Qawa’id adalah bentuk jama’ dari lafadz Qa’idah قاعدة yang menurut bahasa berarti dasar, pondasi atau asas. Seperti terdapat dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 127
Lafadz fiqhiyyah adalah berasal dari lafadz fiqhu yang artinya al-fahmu (paham/mengerti) yang dirangkai dengan “ya nisbah”.
b. Menurut Istilah
Musthafa Ahmad Az-Zarqa menta’rifkan, qaidah fiqhiyyah adalah
Professor T.M Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa:
“Dikehendaki dengan qa’idah Fiqih ialah Qa’idah-Qaidah hukum yang bersifat kulliyah (menyeluruh .pen-) yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf (yang dibebani; manusia & jin .pen-) di bawah beban taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.
Muhammad Abu Zahrah menerangkan, “Perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih ialah, bahwa ushul fiqih adalah qaidah atau methode (cara) yang dipergunakan oleh ahli fiqih di dalam menggali hukum syara’, agar tidak terjadi kesalahan. Sedangkan Qawa’id fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang serupa (sejenis) lantaran ada titik persamaan, atau adanya ketetapan fiqih yang merangkaikan kaidah tersebut.
Jadi Qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid.
3. Kepentingan Qawa’id Fiqhiyyah
Fiqih adalah merupakan kumpulan dari berbagai macam aturan hidup, dimana ia memberikan ketentuan-ketentuan hukum terhadap semua keadaan, yang mencakup hubungan hamba dengan Khaliqnya dan hubungan hamba dengan hamba, baik dalam urusan pribadi perseorangan atau dalam hubungannya sebagai bangsa atau hubungan antar negara, yang lazim disebut dengan hubungan internasional.
Dengan sangat luasnya gelanggang pembahasan fiqih Islam ini, maka bukanlah hal yang mudah dan sepele bagi para mujtahid untuk memberikan hukum setiap masalah furu’ iyyah yang sangat banyak jumlah.
Untuk ini datanglah qa’idah-qa’idah fiqhiyyah, yang mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok, yang tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Dengan berpegang kepada qa’idah-qa’idah tersebut, para mujtahid akan merasa lebih mudah dalam mengistimbat hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan kepada masalah yang serupa di bawah suatu qa’idah.
QAIDAH PERTAMA
اَلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
(Setiap Perkara Tergantung Kepada Maksud Mengerjakannya)
Pengertian Niat:
Menurut Ibnu Qudamah niat adalah:
Ibnu Qayyim mengatakan:
Dari kedua ta’rif di atas, jelaslah bahwa niat itu ada dua:
1. Niat Amal, yaitu maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu. Jika seseorang mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan sengaja, baik perkara ibadah atau pun yang lainnya, maka dinamakan orang tersebut berniat. Seseorang yang sedang tidur, kalau menampar atau menendang sesuatu maka dikatakan dia tidak berniat. Kalau seseorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang lantaran latah, maka orang itu tidak sengaja atau tidak berniat.
2. Niat Ma’mul Lahu, yaitu maksud suatu pekerjaan yang ditujukan pada sesuatu atau seseorang. Seperti shaum karena mengharap rido Allah. Salat karena ingin dilihat seseorang. Shadaqah karena ingin dipuji seseorang dan yang lainnya.
Landasan Qaidah:
Contoh-contoh:
*Makan, minum atau tidur jika maksudnya untuk melaksanakan ibadah, maka diganjar
*Memeras anggur jika niatnya membuat khomr, maka haram tetapi jika untuk membuat cuka, maka halal
*Mengambil harta orang yang mempunyai utang. Jika niatnya mencuri, maka haram. Tetapi jika niatnya melunasi utangnya, maka halal.
*Bercampur dengan istri tetapi niatnya dengan orang lain, maka hukumnya berzina.
Qaidah-Qaidah Lain Yang Meruju’ Kepadanya,
مَا يُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّعْيِيْنُ فَاْلخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
Suatu ibadah yang disyaratkan padanya menentukan niyyat dan ternyata salah, maka ibadah tersebut batal.
* Para ulama berpendapat bahwa disyaratkan menentukan niyat pada ibadah yang sama pelaksanaannya dengan adat (kebiasaan) atau dengan ibadah lain yang hukumnya sunnat atau fardu.
Contoh-contoh:
-Salah dalam menentukan niat ketika salat dzuhur, yang seharusnya niat shalat dzuhur tetapi malah niat shalat ashar, maka salatna tidak sah.
-Salah dalam menentukan niat ketika kifarat dzihar, malah berniat kifarat pembunuhan, maka kifaratnya tidak sah
-Salah dalam menentukan niat ketika salat ‘iedul fitri, malah berniat salat ‘iedul adha, maka salatnya tidak sah.
مَا يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
Suatu ibadah yang disyaratkan menghadirkan niyat secara garis besar dan tidak disyaratkan menentukannya secara terperinci, jika ditentukan dan salah, maka ibadah tersebut rusak.
Contoh-contoh:
Seseorang berniat shalat berjamaah bermakmum kepada Zaid, tapi ternyata imamnya Umar, maka tidak sah bermakmumnya karena dia tidak berniat bermakmum kepada Umar.
* di dalam salat berjama’ah tidak disyaratkan menentukan imam tetapi yang disyaratkan hanyalah niat berjama’ah saja.
Dalam salat mayit, seseorang berniat menyalatkan Amir, Tapi ternyata Kholid atau misalnya niat menyalatkan mayit perempuan tapi ternyata laki-laki, maka dalam kedua masalah ini salatnya tidak sah.
* di dalam salat mayit tidak disyaratkan menentukan mayit, tetapi cukup niat salat mayit saja.
Seseorang menyalatkan mayit, lalu berniat menyalatkan 10 orang mayit, tetapi ternyata mayitnya lebih dari 10, maka salatnya tidak sah.
* dalam salat mayit tidak disyaratkan menentukan jumlah mayit.
مَا لاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَ لاَ تَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
Suatu ibadah yang tidak disyaratkan menghadirkan niyat secara garis besar dan terperinci, jika ditentukan dan salah, maka ibadah tersebut tidak rusak.
Contoh-contoh:
Salah ketika menentukan tempat salat, seseorang niat salat di Jakarta padahal sebenarnya salat di lembang, maka salatnya sah, karena niatnya ada sedangkan menentukan tempat tidak ada kaitan dengan niat salat baik secara garis besar maupun secara terperinci.
Salah ketika menentukan waktu, jika seseorang niat salat ashar pada hari kamis tetapi ternyata hari jum’at maka salatnya sah.
مَقَاصِدُ اللَّفْظِ عَلَى نِيَّةِ اللاَّفِظِ
Maksud suatu ucapan tergantung niat orang yang mengucapkannya
Contoh-contoh:
Seseorang punya istri namanya talaq, pada suatu waktu dia memanggil “Ya Talaq” jika maksudnya itu mentalaq maka terjadilah talaq.
Ketika salat seseorang membaca “Amin”, jika maksudnya memanggil orang yang bernama Amin, maka salatnya batal.
اَلنِّيَّةُ فِى اْليَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ اْلعَامَ وَ لاَ تُعَمِّمُ اْلخَاصَّ
Niat dalam sumpah itu dapat menghususkan lafad yang umum dan tidak dapat mengumumkan
اَلنِّيَّةُ اْلحَسَنَةُ لاَ تُبَرِّرُ اْلحَرَامَ
Niat yang baik tidak dapat menjadikan baik yang haram
Contoh-contoh:
Mencuri dengan niat untuk bersedekah, maka mencuri itu tetap haram.
Berzinah dengan niat untuk menghidupi anak.
************** .............. ************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar